Saturday, February 12, 2005

BOOKS IN MY LIFE (part one)

Kadangkala buku dapat menjadi sumber inspirasi kehidupan, menjadi sumber pembelajaran bahkan sebagai sarana rekreatif. Bahkan telah dibuktikan bahwa buku memiliki peran penting dalam pembentukan budaya dan peradaban.

Ditengah keprihatinan bangsa akan rendahnya minat baca dikalangan muda, kini kita dapat berbesar hati karena munculnya pengarang-pengarang muda dengan gaya dan tema tulisan yang lebih bebas. Disamping itu, penerbit-penerbit alternatif yang muncul, cukup mendukung penyebaran buku-buku yang ditulis pengarang pemula, sehingga ada keyakinan bahwa minat membaca pada dasarnya tidaklah berkurang, namun kendala harga, akses, distribusi, dan pemasaran buku-buku itulah yang perlu diperhatikan. Sehingga diharapkan setiap generasi muda memiliki pengalaman beragam dengan buku sebagai sumber ilmu pengetahuan dan budaya.

Perkenalan pertama saya dengan buku adalah saat usia pra-sekolah, dimana gambar-gambar pada buku/majalah, disertai suara ibu yang membacakan cerita menjelang tidur adalah sesuatu yang sangat menarik dan merupakan sarana rekreatif. Jauh lebih menarik dibandingkan serial kartun TVRI yang kebetulan hanya ditayangkan satu jam pada petang hari. Dengan usaha keras karena usia belum mencukupi untuk masuk sekolah, saya mulai membaca sendiri, karena ibu yang juga bekerja tidak dapat lagi membacakan cerita sesering yang saya inginkan. Begitu semangatnya membaca ditengah keterbatasan buku/majalah anak-anak yang beredar saat itu seperti, Bobo, Sikuncung, dan Kawanku, koran dan majalah wanita yang ada di rumahpun tidak saya lewatkan.

Menurut penuturan orang tua, tidak seperti anak balita lainnya yang biasanya sibuk bernyanyi atau bermain dengan mainannya saat diajak jalan-jalan naik mobil, saya malah sibuk membaca atau tepatnya mengeja semua tulisan yang terpampang di billboard, gedung, iklan, poster dsbnya. Saya sangat puas jika kendaraan berhenti cukup lama di lampu merah karena memberi saya kesempatan membaca sampai selesai seperti tidak sekedar judul film di poster bioskop tapi sampai ke nama pemain, sutradara, memperhatikan gambar diposter dan membayangkan ceritanya.

Selanjutnya, ketertarikan pada buku tidak hanya terletak pada gambar dan cerita, tetapi pada pengalaman imajinasi. Membaca, membawa saya bertualang pada dunia nyata yang lebih luas seperti sejarah dan cerita non-fiksi lainnya, walaupun demikian dunia mimpi menjadi lebih menarik saat itu, seperti kisah-kisah fantasi masa depan, legenda dan dongeng, baik cerita lokal maupun dari luar negeri. Saat itu menjadi hal yang biasa saat orang tua meminta saya memilih beberapa jenis hadiah atau mainan, pilihan saya selalu buku. Bahkan ibu pernah memaksa saya memilih beberapa jenis boneka pada suatu toko mainan hanya karena malu pada tetangga karena putri kecilnya hampir tidak punya mainan.

Meskipun kerap disebut kutubuku, pergaulan dan permainan dengan teman sebaya tidak terabaikan, bahkan selalu ada ide menarik untuk bermain, seperti keinginan membuat cerita fantasi dan dongeng pada buku yang saya baca menjadi nyata dengan melakon-kannya bersama sekelompok teman bermain. Disamping itu, saat usia sekolah dasar, saya dan beberapa teman pecinta buku selalu punya waktu luang setelah pulang sekolah untuk berkumpul dan membaca bersama di salah satu rumah dan masing-masing membawa beberapa buku/majalah untuk saling dipinjamkan. Bahkan sempat juga memiliki perpustakaan kecil, dimana saya mengutip uang sewa dari teman-teman yang datang untuk membaca tapi tidak membawa buku untuk saya pinjam, dan uang sewa tersebut saya kumpulkan untuk dibelikan buku/majalah baru.

Pada saat itu, Gunung Agung di pojok jalan Kwitang Jakarta, sebagai satu-satunya toko buku besar di Jakarta menjadi tempat favorit saya pada hari libur, karena anak-anak diperbolehkan membaca dengan bebas, bahkan disediakan tempat khusus untuk membaca. Saya bisa tahan membaca dari pagi hingga sore hari dan ibu membelikan lagi beberapa buku untuk dibawa pulang ke rumah.

Memasuki dunia remaja, membaca tidak saja memunculkan kepuasan akan cerita dan imajinasi namun mulai membangkitkan daya kritis, karena seringkali saya tidak puas dengan jalan cerita yang terlalu sederhana dan happy ending. Dan mulailah saya menyukai fiksi serial petualangan, detektif dan non-fiksi seperti cerita mengenai iptek dan sejarah dunia. Saat itu textbook seperti biologi, fisika, ekonomi dan sejarah sama menariknya dengan buku cerita. Sehingga saat memasuki semester baru setelah libur panjang, saya kerap sudah menamatkan textbook tersebut sebagai suatu cerita dan tentunya dengan berbagai pertanyaan berkumpul di kepala. Saat itu saya mulai menyadari aspek pembelajaran (edukatif) dari membaca, dan sangat menikmatinya.

Saat menjadi mahasiswa, dimana textbook dan buku penunjang lainnya hanya berkisar pada ilmu yang makin terspesialisasi dan makin dalam, membuat pikiran saya sulit bergerak lebih luas. Bidang saya adalah teknologi informasi (TI), dimana semakin cepat berusaha mengikuti perkembangannya tetap saja merasa tertinggal dan tidak pernah cukup waktu untuk mempelajari segala aspek di bidang itu. Satu-satunya pilihan adalah memilih jalur TI yang lebih terspesialisasi, meskipun pada perkembangannya yang cepat akan bercabang lagi menjadi beberapa spesialisasi baru. Karena itulah saya memilih ilmu dalam arti luas, dan membawa saya kembali pada buku-buku fiksi ber-genre sastra, spiritual, sci-fi, detective/thriller dan non-fiksi dari beragam ilmu seperti biologi, astronomi, psikologi, sejarah, manajemen, dan filsafat, bahkan tetap tertarik membaca buku anak-anak dan remaja.

Di sela kesibukan bekerja dan mengurus rumah tangga selalu ada waktu luang untuk berkunjung ke toko buku atau memesan buku secara online di beberapa online bookstore, membaca buku, dan aktif di milis-milis buku untuk berdiskusi, mendapatkan informasi seputar perbukuan, dan membaca puluhan resensi setiap bulannya karena begitu banyak buku-buku menarik yang terbit dari berbagai bidang ilmu dan saya tidak punya cukup waktu untuk membaca semuanya.

Pada wawancara dengan perspektif online, jawaban Dewi Dee Lestari atas pertanyaan mengapa dengan latar belakang pendidikan sosial, Dewi mampu menulis beragam ilmu dari sastra, science dan filsafat, adalah bahwa kita tidak perlu membatasi diri dan jangan terbatas disatu bidang ilmu, karena semua pengetahuan memiliki energi dan tujuan yang sama. Saya setuju dengan Dewi dan saya yakin kunci-nya adalah membaca, dan menikmatinya. Dan akhirnya kita akan menemukan bahwa buku telah menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan.

12 comments:

Anonymous said...

Mbak emang kutubuku sejati, deh. Dari kecil udah keliatan bakatnya, gitu..

Aku dulu juga suka baca, waktu masih kecil, TK-SD. Kalo ortu lagi pergi ke luar kota, minta dioleh2in-nya buku cerita. Trus biasanya dibeliin buku cerita rakyat yang tipis2 dan berseri. Suka juga baca majalah anak2 Bobo, Donal, dll. O iya, jadi inget, pas masih SD dulu, aku dan beberapa temen berinisiatif mengaktifkan perpus sekolah. Akhirnya aku nyumbangin semua koleksi majalah dan komikku ke sekolah, trus bagi tugas sama temenku buat me-manage perpus itu. Trus ngutip uang sewa juga, buat dibeliin buku baru. Sempet jalan, tapi gak lama, soalnya bukunya pada gak kembali :(
*maklum, masih anak2, susah ngaturnya*
Juga pernah, waktu aku ultah, aku nraktir temen buat nyewa buku di taman bacaan. Traktiran nyewa buku! Seneng, sih.. liat orang jadi suka baca.

Pas SMP, suka baca buku cerita Trio Detektif, majalah2 mami dan kakak (cowok), Intisari. Nggak punya majalah sendiri :D Oh, iya.. aku nggak hobi baca majalah cewek, kayak Gadis, dkk. Cuman sering liat temen baca di kelas. Sepintas isinya keliatan banyakan ttg mode, kosmetik, kecantikan. Menurutku, kurang muatan ilmunya. Makanya lebih tertarik baca majalah orang dewasa dan cowok. kekekeke...

Tapi, semakin gede, hobi membaca jadi agak berkurang, lebih seneng mikir2 sendiri dan diskusi. Penyebab degradasi ini mungkin faktor harga buku dan majalah, selain karena workload di sekolah yg udah mulai banyak. Karena keseringan gak baca, akhirnya hobi baca pun hilang perlahan2. Wah, kasian deh, gue.. Efeknya masih ada sampe sekarang kayaknya :D

Sekarang, paling2 baca buku kalo nemu buku yang bisa membuatku jatuh hati pada bacaan pertama dan kalo lagi gak ada kerjaan banget. Pengen banget bisa hobi baca lagi, apalagi hobi baca text book!! whuah... kapan ya ??? hahaha...

Btw, Mbak, Akarnya belom sempat kebaca. Pengen juga sebenernya bikin resensi buat Petir, tapi belom sempet2, sampe hampir lupa ceritanya, Wakaka.. Payah nih...

Makasih Mbak, dah bikin aku membaca lagi... :D

eka said...

cerita Dilla ttg perpustakaan sekolah, aku jadi inget cerita Nuri ttg pembukaan perpus baru di sekolahnya di SMP (setelah direnov cukup lama, dan buku2nya dilengkapi):

Mnrt cerita Nuri, teman2 langsung menyerbu ke perpus saat hari pembukaan, anehnya bukan utk liat2 koleksi buku, membaca atau meminjam, tapi mencoba tempat duduk dan meja barunya, dan saling ngobrol berkomentar ttg ruangan baru.

Terus aku tanya, "Nuri sendiri ngapain, sempet baca buku nggak?"

"Hmm..aku kan sibuk mengamati tingkah laku mereka, Ma. Yaa, nggak sempat baca".

Hehe.. dasar ABG, ya sami wawon dong :)

Zubia and Yusuf's Mom said...

wah salut deh sama mbak Eka, sekarang coba deh mbak lebih berkonsentrasi ke 'menulis buku' :-D atau sudah ya?

Saya nih mbak payah, hoby bacanya kecil banget, dulu kali ya karena terhambat pas jaman kuliah (waktunya abis buat organisasi dan latihan bisnis:-D jadinya sekarang rada2 tulalit, pegang buku..lansung deh 10 menit kemudian ngeces hihi.

Tapi saya sednag berusaha 'mencetak' zubia jadi kutubuku seperti mbak Eka ini. Sekarang sih zubia memang lebih suka buku ketimbang tv, doakan ya mbak, ke depannya sukses:-D
terimakasih postingannya ya mbak...ayo terus update..

eka said...

Mbak Dwi,

Makasih banget dorongannya. keliatannya saya memang lebih suka baca daripada nulis, tapi kalau udah kebanyakan baca dan nggak nulis, jadi pusing juga. Saya sedang mencoba menulis dengan baik, dengan belajar teknis menulis dari internet, dan bbrp buku ketrampilan menulis. Tapi ya masih seadanya nih, hehe.. punya saran lagi nggak?

kalau saya amati, perkembangan minat membaca dikalangan anak2 memang banyak hambatan, seperti derasnya tayangan film dan hiburan di TV, walaupun gak semua tayangan TV itu jelek. Saya mencoba mengikuti saja perkembangan ini. mungkin memang arah perkembangan generasi sekarang berbeda dibanding saya dulu, dimana TV belum menjadi central of interest.

Walaupun anak-anak saya di rumah menyukai buku, tapi tidak terlalu fanatik spt saya dulu. Namun tetap saya sediakan begitu banyak buku di rumah, dan kalau bisa tercipta juga perpustakaan kecil buat mereka.

Walaupun tdk terlalu antusias membaca, anak2 di rumah sudah sangat menghargai buku. contohnya, jika saya belikan bbrp buku baru, langsung disampul tanpa perlu saya ingatkan. Dan jika ada teman meminjam, hanya boleh dibaca di tempat karena takut hilang, tidak dikembalikan atau rusak. Mereka sudah menjadikan buku2 itu koleksi berharga. Mungkin inipun sudah jadi awal yang baik.

Sedikit saran, mungkin membacakan cerita untuk Zubia bisa jadi pengalaman yg tidak terlupakan saat dia dewasa nanti.

Salam,
Eka

Zubia and Yusuf's Mom said...

Wah mbak, sarannya apa yah, ya menurut saya yang mbak rintis sudah tepat mbak, tinggal dipupuk terus mbak. Monggo mbak..saya dukung sepenuhnya. InsyaAllah saya termasuk yang pertama membeli buku mbak begitu terbit:-D

Ya mbak logikanya gelas kalo diisi air terus pasti tumpah percuma, kan bagusnya diminum biar bermanfaat buat tubuh (nyambung ndak nih mbak perumpamaannya ? hi hi)

pattawari said...

hehehe.. saya dari kecil juga udah suka membaca, bacaan pertama saya malah adalah harian kompas.. hehehe suwer!
waktu kecil juga langganan bobo, donald duck, sampe aku anak saleh.. pas SD mulai beranjak ke kungfuboy, dan komik2 jepang lainnya. SMP mulai ke lupus, dan menyatakan cinta sejati kepada Olga & sepatu roda. olga, aku padamu.... muach.. hihih..
SMA mulai baca2 novel bangsanya Grisham sama Sheldon.. sekarang coba2 bikin tulisan sendiri di blog.. hehehe bukan untuk karir, lebih kepada hobi aja..

eka said...

Mbak Dwi (Zubia's mom):
Thanks atas dorongannya. Kalau menurut Andrias Harefa, menulis itu lebih cenderung utk mencari kepuasan batin, gak peduli honornya kecil. Iya nggak sih?

Pattawari :
hallo Ipe, pantesan ya tulisanmu 'lupus' banget. bener2 menghibur. Keep the style, Friend!

Zubia and Yusuf's Mom said...

Betul mbak, setuju sekali.
Ayo donk mbak selesein part twonya..udah kepengen baca nih:-D

Anonymous said...

UNI gila ya... jalannya kita sama banget! artinya walau kita kutubuku dan punya perpus sendiri dan sibuk dengan dunia yang nggak banyak orang ngerti, tapi teteup suka sosialisasi.

aku juga mulai dari dongeng nyokap, majalan anak2, dongeng, sastra untuk anak, lima sekawan, dan teruuusss sampe sekarang ngelahap segala jenis buku;).

dan gunung agung kwitang sebelom gramedia merajalela adalah tempat andelan, hehe...

rio

Zubia and Yusuf's Mom said...

Iya mbak, memang dari karachi, tapi ngurus visanya selalu dari Jerman:-D
Teman mbak sudah lama di KJRI sana mbak?

Anonymous said...

Hm,"pengarang menulis setengah buku, dan pembaca menyelesaikan yg separuhnya lagi". Mbak tlh menyelesaikan banyak buku. Kapan buku yang di sampulnya ada nama Mbak?
Saya yang lg nulis buku (sekarang lagi diedit bareng editor sebuah penerbit) jadi perlu banyak belajar nih...
paradigmatitikba.blogspot.com, www.islamemansipatoris.com,fazcity.blogspot.com

eka said...

Fazcity :

Thanks dorongan semangat utk menulisnya. Menulis bermula dari hobi atau tuntutan dari dalam diri, kalau berlanjut pada kesempatan menulis buku, alangkah bagusnya. Selamat buat anda yaa, semoga sukses merintis karier sebagai penulis.