Tuesday, November 09, 2004

THE AMAZING FACTS OF COMMUNICATION

Selain aspek teknis dan teori, sisi lain dari komunikasi tidak banyak diketahui. Komunikasi dalam pandangan umum yang sederhana dipahami sebagai proses menyampaikan pesan dan sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, komunikasi juga berkembang menjadi ciri utama kebudayaan modern. Sebagai makhluk sosial, kita akan selalu terlibat dalam proses komunikasi, bahkan proses ini juga berlangsung antara tubuh, pikiran, dan hati yang seringkali mempunyai kehendak berbeda sehingga menimbulkan kontradiksi antara satu dengan lainnya.

Jika kita perhatikan, begitu banyak masalah yang timbul akibat kurang atau tidak lancarnya komunikasi. Masalah ini juga timbul antara resources (mind, body and heart) dalam diri kita sendiri, misalnya orang yang ingin berhenti merokok, merasakan adanya pertentangan antara pikiran (mind) yang menyatakan ingin berhenti merokok demi kesehatan, dengan tubuh (body) yang selalu memberi tanda-tanda tidak nyaman jika tidak merokok. Pertentangan akan selalu dimenangkan oleh resource yang kita biarkan dominan.

Kurangnya komunikasi juga sering kita temui sebagai pemicu keretakan rumah tangga, perselisihan antara orang tua dan remaja, perlawanan buruh terhadap majikan, demonstrasi rakyat terhadap pemerintah, bahkan kurangnya komunikasi dalam hubungan dengan Tuhan (transendetal relationship) menyebabkan hilangnya arah dan makna kehidupan. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa kerusakan yang dashyat jika masalah komunikasi ini tidak segera diatasi. Dalam lingkungan kerja sekalipun, komunikasi yang terhambat antara pelaku organisasi dapat menimbulkan kerugian baik dari sisi biaya dan waktu (efisiensi) maupun dari sisi pencapaian tujuan (efektifitas).

Menurut pandangan saya, komunikasi lebih jujur bercerita melalui tanda dan simbol, meskipun tidak menghapus kemungkinan bahwa tanda dan simbol juga dapat dipalsukan. Tanda dan simbol, sebagai bagian dari komunikasi, dapat kita pelajari dari cabang ilmu Semiotika. Umberto Eco, seorang pakar Semiotika berkata: “Orang-orang berkomunikasi satu sama lain melalui wahana yang beragam, dari pakaian yang mereka kenakan sampai rumah-rumah yang mereka tempati”

Ada beberapa cerita yang pernah saya dengar dan saya baca dan dapat dididentifikasi sebagai komunikasi dengan tanda dan simbol. Diantaranya cerita mengenai seorang ibu rumah tangga, istri dari seorang suami yang sibuk. Sang istri sering merasa surprise dan berbunga-bunga setiap menerima telepon dari suami (beberapa kali dalam satu hari) walaupun jarang dapat berbicara karena HP nya mati sebelum sempat diangkat (misscall) yang ternyata memang disengaja oleh sang suami yang berusaha mencuri waktu menelpon disela-sela jadwalnya yang padat atau memang tidak menemukan kata-kata yang mampu mewakili rasa rindunya. Suatu bentuk komunikasi yang menyatakan perhatian sehingga istri merasa penting dan dihargai.

Beberapa aspek yang mendukung lancarnya komunikasi adalah terkait pada pribadi masing-masing, diantaranya adalah Empati dan Trust. Empati adalah kemampuan kita untuk dapat mendengar dan merasakan apa yang sedang dibicarakan, difikirkan dan dirasakan oleh lawan bicara kita. Tuhan menganugerahkan kita dua telinga dan satu mulut adalah agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Kemampuan berempati adalah berbeda pada setiap orang, namun dapat dilatih dan dipelajari. Seperti yang pernah saya utarakan pada wawancara on-air melalui telepon dengan radio Delta FM, bahwa kunci komunikasi yang berhasil dengan anak-anak adalah dengan berempati. Bahkan saat-saat mereka melanggar peraturan yang sebelumnya sudah disepakati bersama, sebaiknya kita berempati, mendengarkan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dikemukakan, selanjutnya membuat kesepakatan baru yang lebih realistis sehingga tidak perlu menerapkan hukuman.

Apakah kemampuan empati dapat muncul jika kita sedang marah? Mungkin dapat dijelaskan berdasarkan cerita yang saya terima dari email seorang teman tentang penjelasan atas suatu pertanyaan “ Mengapa saat marah, kita cenderung bersuara keras atau berteriak?” padahal lawan bicara kita berada sangat dekat. Tak mampukah kita bicara lebih halus?. Penjelasannya adalah : Ketika dua orang sedang berada dalam situasi kemarahan, jarak antara ke dua hati mereka menjadi amat jauh walau secara fisik mereka begitu dekat. Karena itu, untuk mencapai jarak yang demikian, mereka harus berteriak. Namun anehnya, semakin keras mereka berteriak, semakin mereka menjadi marah dan dengan sendirinya jarak hati yang ada di antara keduanyapun menjadi lebih jauh lagi. Karena itu mereka terpaksa berteriak lebih keras lagi. Sebaliknya, apa yang terjadi ketika dua orang saling jatuh cinta? suara yang keluar dari mulut mereka begitu halus dan kecil. Sehalus apapun, keduanya bisa mendengarkannya dengan begitu jelas. Mengapa demikian? Karena hati mereka begitu dekat, hati mereka tak berjarak. Pada akhirnya sepatah katapun tak perlu diucapkan. Sebuah pandangan mata saja amatlah cukup membuat mereka memahami apa yang ingin mereka sampaikan. Dari cerita ini dapat disimpulkan bahwa, walaupun hanya melalui tanda dan simbol, komunikasi akan berlangsung efektif jika melibatkan empati dalam prosesnya. Sedangkan orang yang sedang marah, sangat sulit berempati. Mungkin pada saat kita marah, tak mengucapkan kata-kata adalah cara yang lebih bijaksana.

Selain Empati, aspek yang dibutuhkan untuk kelancaran komunikasi adalah Trust (kepercayaan). Samuels Smile, seorang pengarang, mengatakan, “What you are, communicates more eloquently than what you say or what you do”. Menurut Arvan Pradiansyah, “ Kepercayaan adalah dasar dari segala bentuk hubungan antar manusia. Tanpa kepercayaan, komunikasi sebaik apapun tidak ada gunanya”. Jika kita amati, masalah yang dihadapi bangsa kita sebelumnya adalah krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah yang mengakibatkan terhambatnya komunikasi antara mereka. Akibatnya, apapun yang dilakukan pemerintah dalam rangka membenahi sistem ekonomi dan sosial budaya, selalu ditanggapi dengan curiga dan prasangka buruk. Semoga pemerintahan yang baru dapat mengembalikan kepercayaan rakyat, yang selanjutnya akan memperlancar komunikasi demi pembangunan yang sudah sekian lama berjalan tidak efektif.

Dapat disimpulkan bahwa aspek yang paling penting dari komunikasi yang efektif adalah kembali pada diri kita masing-masing. Apakah kita sudah mampu menjadi pendengar yang baik atau cenderung selalu mendominasi pembicaraan hanya karena ingin menunjukkan siapa diri kita. Selain itu, apakah kita mampu membangun kepercayaan pada lawan bicara kita?, karena menciptakan kesan dapat dipercaya membutuhkan waktu dan proses yang sangat lama, namun untuk menghancurkannya hanya membutuhkan beberapa detik saja.

Monday, November 01, 2004

SELF MANAGEMENT

Manajemen adalah suatu ilmu yang seringkali kita dengar dan bicarakan pada saat mengikuti antara lain; seminar, pendidikan, atau rapat-rapat di kantor dan organisasi. Sadar atau tidak, kita juga melaksanakannya setiap hari, baik dalam konteks me-manage dan di-manage. Manajemen secara umum diasosiasikan sebagai suatu ilmu yang mempelajari bagaimana merencanakan, mengatur, menggerakkan, dan mengendalikan sesuatu urusan sehingga tercapai tujuan yang dikehendaki dengan sumber daya (resource) yang terbatas. Perlu digaris bawahi mengenai resource ini, karena dengan resource yang tidak terbatas kita tidak perlu manajemen. Yang terkait dalam manajemen diantaranya adalah strategi dan kepemimpinan (leadership), Karena setiap orang yang mempraktekkan ilmu manajemen adalah seorang pemimpin dan menggunakan strategi dalam mencapai tujuannya.

Anehnya, sekian banyak buku, kuliah dan seminar manajemen yang saya ikuti, tidak pernah membahas atau menyinggung tentang manajemen diri (self management) dan hubungannya dengan efektifitas manajemen pada perusahaan dan organisasi. Sebagai seorang pelaku manajemen dalam suatu struktur organisasi, diperlukan suatu sifat kepemimpinan (leadership) yang tentu saja hanya dapat secara efektif dimiliki oleh seseorang yang sukses dalam me-manage dirinya sendiri. Bagaimana seseorang dapat me-manage dirinya adalah materi yang sering terlewatkan dalam pembahasan ilmu manajemen.

Cukup banyak kata-kata bijak yang mengatakan betapa perang terbesar adalah melawan diri sendiri, menjadi pemimpin untuk diri sendiri, seperti yang dikatakan Plato bahwa, “ The first and the best victory is to conquer self” dan salah satu hadis Nabi Muhammad mengatakan perang terbesar umat manusia adalah perang melawan hawa nafsu. Dimana hawa nafsu dapat diterjemahkan sebagai keinginan dan kesenangan yang dapat bersifat negatif dan destruktif.

Menurut Gede Prama, “Manajemen diri adalah suatu ilmu yang hidup, yang lahir, tumbuh, dan bercabang saat dibenturkan, diuji dalam kehidupan“. Sedangkan menurut pandangan saya, manajemen diri berkaitan dengan bagaimana kita sebagai manusia memahami siapa diri kita dan bagaimana mengelolanya. Memahami diri, saya rasa adalah perintah Tuhan dalam Alquran yang turun pertama kali, “ Bacalah, dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. (Al-Alaq, 1-2). Tuhan tidak menurunkan wahyu pertamanya berupa ayat-ayat tentang penciptaan langit dan bumi, tentang akhlaq, atau tentang perintah sholat dan puasa, tapi meminta kita untuk mempelajari lebih dulu siapa diri kita sebenarnya. “Darimana kita diciptakan?”, yang tentu saja dengan berfikir kritis pertanyaan kita akan berlanjut menjadi “untuk apa kita hidup?” dan “kemanakah kita akan berakhir?”. Namun pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya tetap dalam kerangka iman kepada Allah sesuai dengan maksud surat Al-Alaq tersebut di atas. Dengan memahami diri, kita akan mengenali resource-resource utama yaitu pikiran (Mind), tubuh (body) dan hati (heart). Ketiga resource yang kita miliki keberadaannya sangat terbatas, oleh karena itu butuh pengelolaan yang tepat (self management )

Pikiran (mind) adalah resource yang berkembang sesuai usia, pengalaman, pendidikan, dan hasil pembelajaran diri dan secara dinamis membentuk paradigma, yaitu respon dan persepsi kita terhadap suatu informasi atau peristiwa. Bagaimana mengelola pikiran, menurut saya adalah dengan tidak berhenti belajar. Hidup adalah sekolah yang sebenarnya, dimana kita adalah pelajar yang aktif mencari informasi, belajar dari pengalaman, dan mengikuti semua ujian hidup dengan persiapan mental yang cukup dan ilmu yang utuh. Mengelola pikiran juga berarti senantiasa berfikir positif, artinya mampu mengambil hikmah dari suatu peristiwa dan menjadikannya sebagai referensi dalam paradigma kita. Dengan mengelola pikiran dengan tepat, kita akan memiliki kebijaksanaan dan keluasan wawasan berfikir yang akan menjadi modal dalam menjalankan tugas-tugas dan peran kita di dunia

Sesuai pertambahan usia, fungsi tubuh punya keterbatasan tertentu, sehingga resource inipun perlu dikelola dengan tepat. Mengelola tubuh terkait dengan bagaimana kita menghargai dan menjaga tubuh kita secara fisik dengan cara menerapkan pola makan dan pola hidup seimbang, diantaranya adalah menjauhkan diri dari makanan dan minuman yang tidak bermanfaat, tidak memforsir diri dalam bekerja, dan cukup berolahraga. Sehingga tujuan dari manajemen ini adalah memperoleh kesehatan dan kebugaran yang akan memudahkan kita beraktifitas.

Manajemen hati adalah bagaimana kita mengelola dan menjaga hati kita agar senantiasa bersih, tidak dikotori dan diracuni oleh sikap dan tingkah laku yang merusak. Hati yang bersih ditandai dengan rasa bahagia yang survive dalam setiap keadaan, baik dalam keadaan nyaman, cukup dan lapang juga dalam keadaan kurang, menderita bahkan dalam kekecewaan. Dan sesuai ajaran banyak agama didunia bahwa menjaga hati diantaranya adalah dengan memberi, melayani, bersyukur, bersabar, dan pasrah pada Tuhan.

Ketiga resource tersebut di atas saling mendukung dan berkordinasi, seperti yang dikatakan AA Gym bahwa, “Jika hati kita bersih, maka pikiran juga akan jernih”. Selain itu suatu penelitian empiris telah membuktikan bahwa pikiran yang tidak di-manage dengan baik, menjadi penyebab terbesar penyakit-penyakit psikosomatis yang mengganggu kesehatan tubuh.

Pada akhirnya, seseorang yang mampu memahami dan mengelola diri dengan baik, akan lebih besar peluangnya untuk sukses memimpin dirinya dan keluarganya, ikut berperan dan memberikan kontribusi positif dalam masyarakat.