Saturday, December 11, 2004

POLITICS IN DAILY LIFE

Politik dalam pandangan umum seringkali hanya dipahami dalam arti sempit. Persepsi yang sering muncul hanya seputar sepak terjang elit pemerintahan atau hal-hal yang berkaitan dengan hubungan bilateral dan multilateral suatu negara. Ironisnya, tanpa kita sadari, kehidupan keseharian kita tidak pernah lepas dari politik.

Seringkali kita dengar pendapat umum yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Pendapat yang mungkin terbentuk dari media masa yang melulu menyajikan berita-berita politik yang jauh dari etika. Bagi yang bekerja dan mempunyai karier, mungkin tidak asing lagi dengan politik kantor yang cenderung tidak fair. Demikian juga pendapat dari kalangan muda dan anak-anak kita yang cenderung negatif. Putri pertama saya, Nuri, 12 tahun, berpendapat bahwa politik adalah sesuatu yang tidak disukai masyarakat. Sedangkan adiknya, Syifa, 8 tahun, dengan spontan menjawab, “Politik adalah demo!”. Para orangtua sebaiknya menyadari bahwa pendidikan politik diperlukan sejak usia dini agar pemahaman yang berkembang tidak memperburuk citra politik.

Bicara politik adalah bicara tentang kekuasaan (power), namun beberapa orang berpendapat bahwa politik adalah perjuangan. Menurut pandangan saya, politik adalah perjuangan untuk mencapai suatu kekuasaan dimana kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan yang luhur yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan. Mendekatkan diri pada Tuhan adalah suatu bentuk politik spiritual demi memperoleh kekuasaan terhadap diri sendiri. Kekuasaan untuk mengendalikan diri terhadap hal-hal yang mempengaruhi tujuan hidup yang sesuai amanah-Nya.

Bagi elit pemerintahan, setelah kekuasaannya mendapat legitimasi dari rakyat, politik seharusnya merupakan perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Namun kenyataannya sangat sulit terwujud karena kepentingan yang diperjuangkan seringkali bukanlah kepentingan umum, tapi kepentingan pribadi dan golongan. Demikian juga pelaku manajemen dalam suatu organisasi atau perusahaan, seringkali tidak mampu memperjuangkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi dalam setiap pengambilan keputusan.

Kekuasaan yang diselewengkan sudah menjadi fenomena umum, dimana kepentingan umum dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Mempertimbangkan bahaya yang timbul jika kekuasaan tunggal dapat menjadi kekuasaan absolut, Montesquieu, seorang filsuf politik abad 18, yang karena kezaliman pemerintahan oleh Raja Louis XIV, membagi kekuasan menjadi tiga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica) yang tujuannya adalah mencegah kekuasaan tak terbatas. Namun menurut saya, dengan pengawasan yang lemah dari masyarakat, tiga bagian kekuasaan tersebut tetap dapat berkolusi memperjuangkan kepentingan antar mereka sendiri.

Untuk mewujudkan tujuan luhur organisasi diperlukan kekuasaan berupa wewenang yang melekat dalam suatu jabatan, dimana makin tinggi jabatan makin besar kewenangan seseorang untuk mengarahkan organisasi pada tujuan luhurnya. Seorang rekan senior pernah berkata bahwa dalam politik kantor yang tidak fair kita terpaksa melakukan hal-hal yang mungkin juga tidak fair untuk mencapai kekuasaan karena hanya dengan kekuasaan tersebut, tujuan luhur organisasi dapat diperjuangkan. Terdapat kontradiksi dalam pernyataannya, karena ada semacam justifikasi terhadap politik kantor yang tidak fair, yaitu pembenaran terhadap politik yang memungkinkan kesuksesan diraih bukan karena kerja dan berfikir keras tapi semata-mata karena pandai me-lobby dan menyenangkan atasan. Dalam diri saya ada keyakinan bahwa jika perjuangan mencapai kekuasaan menggunakan politik yang tidak fair, dalam arti tidak percaya pada kerja keras, menghalalkan segala cara, dan tidak ikhlas, hati akan terkotori sehingga niat yang semula utk mewujudkan tujuan luhur organisasi akan terdeviasi. Setelah kekuasaan itu diperoleh, tujuan organisasi akan terlupakan dan digantikan dengan tujuan pribadi.

Namun demikian, saya berpendapat bahwa untuk mewujudkan suatu tujuan luhur tidak mutlak diperlukan jabatan/kedudukan sebagai legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat digantikan atau diperkuat dengan pengaruh (influence), antara lain kemampuan mempengaruhi orang yang mempunyai kekuasaan dalam mengambil keputusan. Seorang bawahan dapat lebih ‘berkuasa’ daripada atasannya, jika mempunyai pengaruh yang cukup penting terhadap organisasi atau bahkan terhadap kepentingan pribadi sang atasan. Pengaruh tidak perlu dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Seorang istri, meskipun menurut pandangan umum bukanlah seorang kepala rumah tangga tetap dapat mempengaruhi setiap keputusan yang diambil oleh suami tergantung politik yang digunakan. Sekali lagi, pengaruh adalah suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk tujuan positif atau sebaliknya.

Akhirnya, kembali pada diri kita masing-masing, apakah secara tidak sadar kita telah berpolitik dalam kehidupan sehari-hari? Jika ya, sebaiknya evaluasi kembali apakah politik yang digunakan sesuai dengan etika dan apakah kekuasaan atau pengaruh yang kita peroleh sungguh-sungguh digunakan untuk kepentingan bersama?

9 comments:

dils said...

Pernah inget pas masih SMP waktu pelajaran sejarah, Guruku pernah memberi definisi ttg POLITIK. Kalo gak salah inget, POLITIK menurut definisi waktu itu adalah:
cara untuk mencapai suatu tujuan.

Makna kata politik akhirnya mengalami asosiasi dengan hal2 yang berkaitan dengan pemerintahan, karena saking banyaknya cara yang diperlukan dalam mengurusi pemerintahan, dari cara yang bener sampe yang nggak bener.

Setuju banget sama Mbak Eka, bahwa banyak pelaku2 politik yang melakukan pembenaran atas cara2 yang mereka pakai untuk mencapai tujuan. Alasannya,"Mau gimana lagi, kita harus ikut aturan maen dulu. Entar kalo udah tercapai, baru kita benahin". Padahal cara yang dipake nggak bener.

Gimana mau outputnya bener, kalo prosesnya nggak bener? Itukan sama aja mencampurkan yang haq (benar) dan yang bathil (salah). Akhirnya ya, jadi nggak bener.

eka said...
This comment has been removed by a blog administrator.
eka said...

Mengutip kata-kata Machiavelli, filsuf politik abad 16, bahwa "Politik punya moralitasnya sendiri" memang membuat kita miris juga, karena kenyataannya memang begitu.

Apalagi kalo Dilla sempat baca bukunya Robert Greene yg judulnya "48 laws of power", wah yg namanya taktik dan strategi mencapai kekuasaan melalui moralitas politik bikin merinding.

Stlh baca buku itu kita bisa menyimpulkan : "do not trust anybody, neither friend nor the enemy".

dils said...

wiii... kok ngeri gitu bukunya, mbak ?
bisa jadi paranoid...
kadang mo gak percaya kalo politik begitu kejam, tapi kok ya memang gitu kenyataannya.
Ndak ikut2an ah...

Rahadian P. Paramita said...

Memahami secara sederhana makna politik, maka semua orang pada dasarnya sedang berpolitik. Entah kalau ada orang yang tidak punya tujuan hidup. Saya setuju dengan itu.

Tampaknya politik itu steril. Kalau melihat bahwa tujuan yang ingin dicapai bukan saja kebaikan, tapi juga ada tujuan kejahatan.

Tapi kalau melihat dari cara yang digunakan, pada dasarnya semua orang ingin bahagia, hanya saja caranya yang berlainan. Ada yang lewat jalan kiri, atau jalan kanan, juga ada yang senang di jalan tengah.

Sementara etika, yang seharusnya menjauhkan manusia dari jalan kejahatan, kini nilainya sudah terdegradasi, bahkan mungkin sudah mulai tereliminasi. Ada perubahan nilai etika yang sangat drastis. Sebut saja, soal korupsi atau menyogok. Sekarang, kalau Anda tidak menyogok untuk memperlancar urusan, maka Anda bisa dicap sebagai orang 'bodoh'. Dahsyat ya...

Hmm... Saya jadi ingat syair lagu Iwan Fals.

Apakah politik itu kejam?
Apakah ia datang tuk menghantam?

Mungkin cuma rumput yang bergoyang yang bisa menjawab.

salam,

rahadian p. paramita at htp://prajnas.blogspot.com

eka said...

Hmm... dan kata-kata 'bodoh' yang sering kita terima lambat laun membuat tidak nyaman, men-cuci otak kita, dan akhirnya menjungkir-balikkan paradigma. Memang dashyat...!

Tapi jika kita bisa melewati saat-saat kritis tersebut dan tetap survive, saya yakin kita akan menjadi strange attractor. Dimana trend pregeseran norma dan etika akan berbalik kembali menuju titik keseimbangan, dan akhirnya terjadi perubahan postif seperti yang kita harapkan.

Tuk Rahadian, Thanks atas comment-nya :)

Rahadian P. Paramita said...

Sama-sama, mbak :-D

Senang rasanya bertemu orang-orang yang berpikiran sama.

salam,
rahadian p. paramita at http://prajnas.blogspot.com

Anonymous said...

wah, ngajar politik ya? gila baca tulisan ini bikin gue jadi inget bu miriam dan pak amir dulu ngajar politik di kuliah umum, hehe...

gara-gara belajar politik, gue jadi nggak suka politik karena politik cenderung digunakan bukan untuk mencapai tujuan-tujuan luhur, ato kalo pun mengatasnamakannya, caranya jauh dari luhur.

tapi, karena belajar politik, gue juga tahu melepaskan diri dari politik adalah nggak mungkin. sehari-hari kita berpolitik kok. apalagi di dunia kerja, cuma, buat gue yang penting, dalam berpolitik, nggak merugikan orang lain.

sebisa mungkin.

eka said...

ngajar politik? ya nggak lah yaa.
aku cuma pengamat, pengamat apa aja terutama yg berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam hidup. Sehingga politik yang pd kenyataannya melibatkan kepentingan pribadi (vested interest)menjadi sesuatu hal yg menarik utk dianalisa.

anonymous, thanks buat komentarnya :)