Ibuku
Bagai . . . .
Sweater membalut tubuhku
Ada kelembutan
Ada kehangatan
Kisi-kisi rajutan wolmu
Membelaiku
Menenangkanku
Kala jiwaku menggigil
Kedinginan
Ketakutan
Engkau melindungi aku
Menghadiahkan cinta
Mencurahkan kasih sayang
('hadiah untuk mama', oleh: Nurillah Alfajria, 12 thn)
Hidup ibarat serangkaian IF-THEN-ELSE pada modul program komputer. Takdir adalah output, yaitu hasil rangkaian pilihan keputusan. Paradigma True dan False adalah hasil kebijaksanaan pemikiran dan tidak lagi sekedar hitam atau putih, sehingga setiap keputusan memiliki konsekuensinya masing-masing apakah valid, error, atau looping tiada akhir. Dan pada akhirnya, keselamatan hanya datang pada seseorang yang memiliki kemampuan 'thinking out of the box'. That is...... THE INTELLIGENT USER !
Wednesday, December 22, 2004
Saturday, December 11, 2004
POLITICS IN DAILY LIFE
Politik dalam pandangan umum seringkali hanya dipahami dalam arti sempit. Persepsi yang sering muncul hanya seputar sepak terjang elit pemerintahan atau hal-hal yang berkaitan dengan hubungan bilateral dan multilateral suatu negara. Ironisnya, tanpa kita sadari, kehidupan keseharian kita tidak pernah lepas dari politik.
Seringkali kita dengar pendapat umum yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Pendapat yang mungkin terbentuk dari media masa yang melulu menyajikan berita-berita politik yang jauh dari etika. Bagi yang bekerja dan mempunyai karier, mungkin tidak asing lagi dengan politik kantor yang cenderung tidak fair. Demikian juga pendapat dari kalangan muda dan anak-anak kita yang cenderung negatif. Putri pertama saya, Nuri, 12 tahun, berpendapat bahwa politik adalah sesuatu yang tidak disukai masyarakat. Sedangkan adiknya, Syifa, 8 tahun, dengan spontan menjawab, “Politik adalah demo!”. Para orangtua sebaiknya menyadari bahwa pendidikan politik diperlukan sejak usia dini agar pemahaman yang berkembang tidak memperburuk citra politik.
Bicara politik adalah bicara tentang kekuasaan (power), namun beberapa orang berpendapat bahwa politik adalah perjuangan. Menurut pandangan saya, politik adalah perjuangan untuk mencapai suatu kekuasaan dimana kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan yang luhur yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan. Mendekatkan diri pada Tuhan adalah suatu bentuk politik spiritual demi memperoleh kekuasaan terhadap diri sendiri. Kekuasaan untuk mengendalikan diri terhadap hal-hal yang mempengaruhi tujuan hidup yang sesuai amanah-Nya.
Bagi elit pemerintahan, setelah kekuasaannya mendapat legitimasi dari rakyat, politik seharusnya merupakan perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Namun kenyataannya sangat sulit terwujud karena kepentingan yang diperjuangkan seringkali bukanlah kepentingan umum, tapi kepentingan pribadi dan golongan. Demikian juga pelaku manajemen dalam suatu organisasi atau perusahaan, seringkali tidak mampu memperjuangkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi dalam setiap pengambilan keputusan.
Kekuasaan yang diselewengkan sudah menjadi fenomena umum, dimana kepentingan umum dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Mempertimbangkan bahaya yang timbul jika kekuasaan tunggal dapat menjadi kekuasaan absolut, Montesquieu, seorang filsuf politik abad 18, yang karena kezaliman pemerintahan oleh Raja Louis XIV, membagi kekuasan menjadi tiga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica) yang tujuannya adalah mencegah kekuasaan tak terbatas. Namun menurut saya, dengan pengawasan yang lemah dari masyarakat, tiga bagian kekuasaan tersebut tetap dapat berkolusi memperjuangkan kepentingan antar mereka sendiri.
Untuk mewujudkan tujuan luhur organisasi diperlukan kekuasaan berupa wewenang yang melekat dalam suatu jabatan, dimana makin tinggi jabatan makin besar kewenangan seseorang untuk mengarahkan organisasi pada tujuan luhurnya. Seorang rekan senior pernah berkata bahwa dalam politik kantor yang tidak fair kita terpaksa melakukan hal-hal yang mungkin juga tidak fair untuk mencapai kekuasaan karena hanya dengan kekuasaan tersebut, tujuan luhur organisasi dapat diperjuangkan. Terdapat kontradiksi dalam pernyataannya, karena ada semacam justifikasi terhadap politik kantor yang tidak fair, yaitu pembenaran terhadap politik yang memungkinkan kesuksesan diraih bukan karena kerja dan berfikir keras tapi semata-mata karena pandai me-lobby dan menyenangkan atasan. Dalam diri saya ada keyakinan bahwa jika perjuangan mencapai kekuasaan menggunakan politik yang tidak fair, dalam arti tidak percaya pada kerja keras, menghalalkan segala cara, dan tidak ikhlas, hati akan terkotori sehingga niat yang semula utk mewujudkan tujuan luhur organisasi akan terdeviasi. Setelah kekuasaan itu diperoleh, tujuan organisasi akan terlupakan dan digantikan dengan tujuan pribadi.
Namun demikian, saya berpendapat bahwa untuk mewujudkan suatu tujuan luhur tidak mutlak diperlukan jabatan/kedudukan sebagai legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat digantikan atau diperkuat dengan pengaruh (influence), antara lain kemampuan mempengaruhi orang yang mempunyai kekuasaan dalam mengambil keputusan. Seorang bawahan dapat lebih ‘berkuasa’ daripada atasannya, jika mempunyai pengaruh yang cukup penting terhadap organisasi atau bahkan terhadap kepentingan pribadi sang atasan. Pengaruh tidak perlu dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Seorang istri, meskipun menurut pandangan umum bukanlah seorang kepala rumah tangga tetap dapat mempengaruhi setiap keputusan yang diambil oleh suami tergantung politik yang digunakan. Sekali lagi, pengaruh adalah suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk tujuan positif atau sebaliknya.
Akhirnya, kembali pada diri kita masing-masing, apakah secara tidak sadar kita telah berpolitik dalam kehidupan sehari-hari? Jika ya, sebaiknya evaluasi kembali apakah politik yang digunakan sesuai dengan etika dan apakah kekuasaan atau pengaruh yang kita peroleh sungguh-sungguh digunakan untuk kepentingan bersama?
Politik dalam pandangan umum seringkali hanya dipahami dalam arti sempit. Persepsi yang sering muncul hanya seputar sepak terjang elit pemerintahan atau hal-hal yang berkaitan dengan hubungan bilateral dan multilateral suatu negara. Ironisnya, tanpa kita sadari, kehidupan keseharian kita tidak pernah lepas dari politik.
Seringkali kita dengar pendapat umum yang mengatakan bahwa politik itu kotor. Pendapat yang mungkin terbentuk dari media masa yang melulu menyajikan berita-berita politik yang jauh dari etika. Bagi yang bekerja dan mempunyai karier, mungkin tidak asing lagi dengan politik kantor yang cenderung tidak fair. Demikian juga pendapat dari kalangan muda dan anak-anak kita yang cenderung negatif. Putri pertama saya, Nuri, 12 tahun, berpendapat bahwa politik adalah sesuatu yang tidak disukai masyarakat. Sedangkan adiknya, Syifa, 8 tahun, dengan spontan menjawab, “Politik adalah demo!”. Para orangtua sebaiknya menyadari bahwa pendidikan politik diperlukan sejak usia dini agar pemahaman yang berkembang tidak memperburuk citra politik.
Bicara politik adalah bicara tentang kekuasaan (power), namun beberapa orang berpendapat bahwa politik adalah perjuangan. Menurut pandangan saya, politik adalah perjuangan untuk mencapai suatu kekuasaan dimana kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan yang luhur yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan. Mendekatkan diri pada Tuhan adalah suatu bentuk politik spiritual demi memperoleh kekuasaan terhadap diri sendiri. Kekuasaan untuk mengendalikan diri terhadap hal-hal yang mempengaruhi tujuan hidup yang sesuai amanah-Nya.
Bagi elit pemerintahan, setelah kekuasaannya mendapat legitimasi dari rakyat, politik seharusnya merupakan perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Namun kenyataannya sangat sulit terwujud karena kepentingan yang diperjuangkan seringkali bukanlah kepentingan umum, tapi kepentingan pribadi dan golongan. Demikian juga pelaku manajemen dalam suatu organisasi atau perusahaan, seringkali tidak mampu memperjuangkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi dalam setiap pengambilan keputusan.
Kekuasaan yang diselewengkan sudah menjadi fenomena umum, dimana kepentingan umum dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Mempertimbangkan bahaya yang timbul jika kekuasaan tunggal dapat menjadi kekuasaan absolut, Montesquieu, seorang filsuf politik abad 18, yang karena kezaliman pemerintahan oleh Raja Louis XIV, membagi kekuasan menjadi tiga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias politica) yang tujuannya adalah mencegah kekuasaan tak terbatas. Namun menurut saya, dengan pengawasan yang lemah dari masyarakat, tiga bagian kekuasaan tersebut tetap dapat berkolusi memperjuangkan kepentingan antar mereka sendiri.
Untuk mewujudkan tujuan luhur organisasi diperlukan kekuasaan berupa wewenang yang melekat dalam suatu jabatan, dimana makin tinggi jabatan makin besar kewenangan seseorang untuk mengarahkan organisasi pada tujuan luhurnya. Seorang rekan senior pernah berkata bahwa dalam politik kantor yang tidak fair kita terpaksa melakukan hal-hal yang mungkin juga tidak fair untuk mencapai kekuasaan karena hanya dengan kekuasaan tersebut, tujuan luhur organisasi dapat diperjuangkan. Terdapat kontradiksi dalam pernyataannya, karena ada semacam justifikasi terhadap politik kantor yang tidak fair, yaitu pembenaran terhadap politik yang memungkinkan kesuksesan diraih bukan karena kerja dan berfikir keras tapi semata-mata karena pandai me-lobby dan menyenangkan atasan. Dalam diri saya ada keyakinan bahwa jika perjuangan mencapai kekuasaan menggunakan politik yang tidak fair, dalam arti tidak percaya pada kerja keras, menghalalkan segala cara, dan tidak ikhlas, hati akan terkotori sehingga niat yang semula utk mewujudkan tujuan luhur organisasi akan terdeviasi. Setelah kekuasaan itu diperoleh, tujuan organisasi akan terlupakan dan digantikan dengan tujuan pribadi.
Namun demikian, saya berpendapat bahwa untuk mewujudkan suatu tujuan luhur tidak mutlak diperlukan jabatan/kedudukan sebagai legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat digantikan atau diperkuat dengan pengaruh (influence), antara lain kemampuan mempengaruhi orang yang mempunyai kekuasaan dalam mengambil keputusan. Seorang bawahan dapat lebih ‘berkuasa’ daripada atasannya, jika mempunyai pengaruh yang cukup penting terhadap organisasi atau bahkan terhadap kepentingan pribadi sang atasan. Pengaruh tidak perlu dilakukan dengan pemaksaan dan kekerasan. Seorang istri, meskipun menurut pandangan umum bukanlah seorang kepala rumah tangga tetap dapat mempengaruhi setiap keputusan yang diambil oleh suami tergantung politik yang digunakan. Sekali lagi, pengaruh adalah suatu kemampuan yang dapat digunakan untuk tujuan positif atau sebaliknya.
Akhirnya, kembali pada diri kita masing-masing, apakah secara tidak sadar kita telah berpolitik dalam kehidupan sehari-hari? Jika ya, sebaiknya evaluasi kembali apakah politik yang digunakan sesuai dengan etika dan apakah kekuasaan atau pengaruh yang kita peroleh sungguh-sungguh digunakan untuk kepentingan bersama?
Tuesday, December 07, 2004
Keseharian
Tips 1: Kreatifitas
Hallo namaku Assyifa Humaira .
Nah aku akan kasih tau apa maksudnya kreatifitas.
Kreatifitas adalah segala sesuatu karya yang kita hasilkan sendiri
dan berbentuk unik. Kalo baru coba sih…susah,
tapi kalo udah bisa, berarti ada kemajuan.
Tips 2: Terbiasa
Hmm……,contohnya menjahit, kalo
belom terbiasa pasti stress deh.
Kalo udah terbiasa pasti tenang.
Makanya biar hasil nya lebih bagus,kita harus terbiasa.
Tips 3 : Gagal
Kalo buat sesuatu pasti ada kegagalan.
Contoh buat kue,udah kita bentuk-bentuk,
waktu taro di oven……yah jadinya nggak ada
bentuk. Tapi nggak apa-apa kok setiap
prakarya kita pasti ada kegagalan.
Tips 4: Keberhasilan
Dalam setiap prakarya pasti ada keberhasilan. Keberhasilan menunjukan bahwa kita sukses. Biasanya kita harus gagal dulu baru berhasil. Coba kalo kita langsung berhasil jadi nggak ada pengalamankan.
(cuplikan diary Syifa, 8 tahun, yang ditulis tgl 26 Sept 2004)
Tips 1: Kreatifitas
Hallo namaku Assyifa Humaira .
Nah aku akan kasih tau apa maksudnya kreatifitas.
Kreatifitas adalah segala sesuatu karya yang kita hasilkan sendiri
dan berbentuk unik. Kalo baru coba sih…susah,
tapi kalo udah bisa, berarti ada kemajuan.
Tips 2: Terbiasa
Hmm……,contohnya menjahit, kalo
belom terbiasa pasti stress deh.
Kalo udah terbiasa pasti tenang.
Makanya biar hasil nya lebih bagus,kita harus terbiasa.
Tips 3 : Gagal
Kalo buat sesuatu pasti ada kegagalan.
Contoh buat kue,udah kita bentuk-bentuk,
waktu taro di oven……yah jadinya nggak ada
bentuk. Tapi nggak apa-apa kok setiap
prakarya kita pasti ada kegagalan.
Tips 4: Keberhasilan
Dalam setiap prakarya pasti ada keberhasilan. Keberhasilan menunjukan bahwa kita sukses. Biasanya kita harus gagal dulu baru berhasil. Coba kalo kita langsung berhasil jadi nggak ada pengalamankan.
(cuplikan diary Syifa, 8 tahun, yang ditulis tgl 26 Sept 2004)
Subscribe to:
Posts (Atom)