RAMADHAN : A TURNING POINT OR A MERE TRADITION ?
Menjelang Ramadhan ini ada hal-hal menarik yang dapat di renungkan. Sebagai manusia spriritual, saya berusaha menggali dan memahami makna dibalik kegiatan ritual tersebut. Sebagai mahluk sosial, sejauh waktu dan kewajarannya memungkinkan, saya pun ikut membaur dalam ‘ritual-ritual’ sosial yang sudah membudaya pada masyarakat lokal dimana saya tinggal.
Sebagai salah satu rukun islam, puasa yang kita jalani sejak kecil tidak serta merta menumbuhkan kesadaran ( self consciousness) saat melaksanakannya. Waktu kecil saya lakukan puasa karena orang tua menanamkan pengertian surga-neraka sebagai konsekuensi atas kebaikan dan keburukan yang kita lakukan, dan puasa adalah suatu bentuk kebaikan. Selain itu, puasa, dalam pikiran kecil saya yang sangat terbatas pada saat itu, adalah suatu latihan untuk menjadi orang dewasa. Namun setelah dewasa, puasa juga belum tentu punya makna yang dalam bagi yang melaksanakannya.
Dalam usaha mencari makna, sebagai manusia yang cenderung lebih menghargai rasio daripada intuisi banyak hal yang dapat dilakukan, misalnya melalui penalaran, penelitian, pembuktian dan sebagainya. Sebagai contoh, sudah banyak ahli di bidang kesehatan dari dalam dan luar negeri yang memperkenalkan detoksifikasi yaitu, proses pembuangan racun/toksik yang mengendap dalam tubuh kita melalui
puasa. Gaya hidup dan pola makan yang cenderung tidak sehat, memungkinkan mengendapnya racun dalam tubuh kita dan harus segera dibersihkan. Menurut Andang Gunawan ,seorang Ahli Gizi yang juga penulis buku Food Combining, tubuh segera akan memberi "peringatan" manakala sudah harus dibersihkan. Kondisi ini disebut asidosis. Saat itu keasaman tubuh sudah terlalu tinggi hingga rentan terhadap penyakit. Padahal keseimbangan asam basa bagi tubuh yang sehat antara 7,3 - 7,5. Gejala awal asidosis antara lain, sering sakit kepala, asma, sinusitis, mudah alergi, sering pilek, batuk, dan flu, sering kembung, sembelit, mag, kulit berjerawat, keputihan, napas dan keringat bau, dan kelebihan berat badan. Nah, kalau gejala-gejala tersebut sudah dialami, saatnyalah kembali berpuasa, tidak makan dan minum dalam periode waktu tertentu.
Selain itu telah dibuktikan bahwa emosi dan stress yang tidak terkendali atau sikap mental yang negatif dapat menekan sistem kekebalan tubuh sehingga penyakit mudah menyerang. Para pakar telah membuktikan bahwa 50%-80% penyakit akut dan kronis dapat dilatarbelakangi oleh emosi dan stress.
Selain dari penelitian yang dibuktikan dengan data2 empiris tersebut, ternyata ritual puasa juga cukup dikenal hampir di semua agama, termasuk antara lain ajaran Tao dan Yahudi yang tujuan akhirnya kurang lebih adalah pengendalian diri untuk mencapai keseimbangan. Dalam Islam pentingnya berpuasa dapat ditemukan dalam Al Quran, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (QS2:183).
Namun berdasarkan pemahaman masyarakat yang sangat beragam, ada yang memaknai puasa hanya sekedar tidak makan dan minum, ada pula yang sekedar pengendalian emosi yang efektif hanya di bulan ramadhan saja. Sehingga puasa sama sekali tidak merubah pemikiran dan tingkah laku secara fundamental. Hal ini mungkin disebabkan karena paradigma surga-neraka saat masih kecil dulu masih mendominasi pemahaman orang-orang dewasa. Menurut Arvan Pradiansyah, tingkatan tertinggi yang dilaksanakan orang yang berpuasa adalah puasa spiritual. Intinya adalah merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Inilah sebenarnya tujuan utama puasa yaitu menjadi orang yang taqwa, dimana definisi taqwa secara tepat bukanlah “takut” tetapi “dekat”.
Fenomena baru lagi dimasyarakat kita, khususnya di perkotaan adalah munculnya tradisi-tradisi baru yang mengikuti ramadhan yang saya sebut dengan ritual-ritual sosial, seperti banyaknya undangan makan bersama sebelum ramadhan tiba, demikian juga undangan berbuka puasa yang kadang disajikan dengan berlebihan. Dapat juga kita amati acara ngabuburit menjelang berbuka, yang bahkan dilakukan ditempat-tempat yang justru tidak mendukung maksud dan tujuan berpuasa. Masih banyak lagi tradisi-tradisi yang pada dasarnya cukup bermanfaat dilihat dari sisi hubungan sosial (silaturahmi) namun akhirnya sering mengaburkan makna substantial dari Ramadhan itu sendiri.
Menurut pandangan saya, Bulan Ramadhan adalah waktu dimana kita berkesempatan membersihkan racun-racun fisik dan emosi yang mengendap dalam tubuh kita dengan berpuasa pada siang hari dan sekaligus membersihkan racun2 hati dan pikiran yang merusak mental-spritual dengan melakukan ratil dan perenungan pada malam hari. Hal ini adalah salah satu bentuk hubungan pribadi (P to P) antara Tuhan dan Manusia dimana khususnya pada bulan Ramadhan, dibukakannya pintu rahmat/petunjuk bagi orang2 yang memang berusaha meluangkan waktu terutama malam hari untuk melakukan rattil (study alquran) dan kontemplasi (perenungan yang dalam). Dan hanya orang-orang yang berhasil dalam berpuasa, melakukan rattil dan perenungan itulah yang akan mendapat petunjuk dengan terbukanya pintu hati dan pikiran akan kebenaran dan menguatkan keyakinan untuk kembali pada fitrah manusia sebagai khalifah dan co-creator alam semesta. Petunjuk inilah yang disimbolkan sebagai Lailatul Qadar, bahwa ada satu malam dimana kita dapat merasakan adanya perubahan secara fundamental dalam diri kita sehingga kita merasa terlahir kembali dengan paradigma baru, paradigma yang fitrah, seperti kupu-kupu cantik yang baru keluar dari kepompong setelah memutuskan bahwa hidupnya harus berubah.
Saya yakin hal ini tidaklah mudah, karena perubahan menuju paradigma yang fitrah tidak dapat dicapai hanya dalam satu bulan. Hal ini membutuhkan proses yang harus terus-menerus diasah dan diperjuangkan setiap saat sehingga dapat diwujudkan dan dibuktikan melalui perbuatan.Lailatul Qadar merupakan klimaks dari usaha dan perjuangan yang telah kita lakukan untuk selalu cenderung pada kebenaran dan kebaikan
Sekali lagi bahwa Lailatul Qadar bukanlah seperti mitos Bintang Jatuh, sebagaimana manusia berlomba-lomba memprediksi tanda-tandanya secara fisik dengan keyakinan bahwa seluruh dosa akan terhapus begitu saja saat menyaksikannya. Lailatul Qadar hanya datang pada orang-orang yang memang memenuhi syarat untuk mencapai derajat tertentu sebagai manusia yang mampu kembali fitrah. Setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk mencapainya. Sekarang tergantung kemampuan kita memilih dari pilihan-pilihan hidup yang ada (if-then-else) karena tuhan menganugerahkan kekuatan terbesar pada manusia sebagai ciptaan-Nya yang istimewa, yaitu Kekuatan Memilih (The Power to Choose).