Monday, October 18, 2004

anakku, layang-layangku

membesarkan anak adalah bermain layang-layang
pilihlah benang yang kuat sebagai bekal ilmu kehidupan
pilihlah waktu yang tepat menarik dan mengulur benang

bila tiba saat langit berwarna biru cerah
dan angin bertiup lembut bersahabat
ulurlah perlahan
biarkan layang-layang menari
meliuk dan bercanda dengan hidup
bila mendung mulai bergayut menutup biru
bila angin mulai menunjukkan kekuatan
tariklah juga perlahan
biarkan layang-layang turun
menuju rengkuhan cinta bumi yang menanti

jangan biarkan keinginan tinggi melayang
lepas dan berkeras melawan tanda-tanda alam
jangan biarkan layang-layang putus
terseret arus kekuasaan dan keserakahan
karena anak adalah anugerah juga ladangnya amal
sedangkan angin yang bertiup adalah sang kehidupan


(to my children - with love)

Wednesday, October 13, 2004

RAMADHAN : A TURNING POINT OR A MERE TRADITION ?

Menjelang Ramadhan ini ada hal-hal menarik yang dapat di renungkan. Sebagai manusia spriritual, saya berusaha menggali dan memahami makna dibalik kegiatan ritual tersebut. Sebagai mahluk sosial, sejauh waktu dan kewajarannya memungkinkan, saya pun ikut membaur dalam ‘ritual-ritual’ sosial yang sudah membudaya pada masyarakat lokal dimana saya tinggal.

Sebagai salah satu rukun islam, puasa yang kita jalani sejak kecil tidak serta merta menumbuhkan kesadaran ( self consciousness) saat melaksanakannya. Waktu kecil saya lakukan puasa karena orang tua menanamkan pengertian surga-neraka sebagai konsekuensi atas kebaikan dan keburukan yang kita lakukan, dan puasa adalah suatu bentuk kebaikan. Selain itu, puasa, dalam pikiran kecil saya yang sangat terbatas pada saat itu, adalah suatu latihan untuk menjadi orang dewasa. Namun setelah dewasa, puasa juga belum tentu punya makna yang dalam bagi yang melaksanakannya.

Dalam usaha mencari makna, sebagai manusia yang cenderung lebih menghargai rasio daripada intuisi banyak hal yang dapat dilakukan, misalnya melalui penalaran, penelitian, pembuktian dan sebagainya. Sebagai contoh, sudah banyak ahli di bidang kesehatan dari dalam dan luar negeri yang memperkenalkan detoksifikasi yaitu, proses pembuangan racun/toksik yang mengendap dalam tubuh kita melalui puasa. Gaya hidup dan pola makan yang cenderung tidak sehat, memungkinkan mengendapnya racun dalam tubuh kita dan harus segera dibersihkan. Menurut Andang Gunawan ,seorang Ahli Gizi yang juga penulis buku Food Combining, tubuh segera akan memberi "peringatan" manakala sudah harus dibersihkan. Kondisi ini disebut asidosis. Saat itu keasaman tubuh sudah terlalu tinggi hingga rentan terhadap penyakit. Padahal keseimbangan asam basa bagi tubuh yang sehat antara 7,3 - 7,5. Gejala awal asidosis antara lain, sering sakit kepala, asma, sinusitis, mudah alergi, sering pilek, batuk, dan flu, sering kembung, sembelit, mag, kulit berjerawat, keputihan, napas dan keringat bau, dan kelebihan berat badan. Nah, kalau gejala-gejala tersebut sudah dialami, saatnyalah kembali berpuasa, tidak makan dan minum dalam periode waktu tertentu.

Selain itu telah dibuktikan bahwa emosi dan stress yang tidak terkendali atau sikap mental yang negatif dapat menekan sistem kekebalan tubuh sehingga penyakit mudah menyerang. Para pakar telah membuktikan bahwa 50%-80% penyakit akut dan kronis dapat dilatarbelakangi oleh emosi dan stress.

Selain dari penelitian yang dibuktikan dengan data2 empiris tersebut, ternyata ritual puasa juga cukup dikenal hampir di semua agama, termasuk antara lain ajaran Tao dan Yahudi yang tujuan akhirnya kurang lebih adalah pengendalian diri untuk mencapai keseimbangan. Dalam Islam pentingnya berpuasa dapat ditemukan dalam Al Quran, "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa" (QS2:183).

Namun berdasarkan pemahaman masyarakat yang sangat beragam, ada yang memaknai puasa hanya sekedar tidak makan dan minum, ada pula yang sekedar pengendalian emosi yang efektif hanya di bulan ramadhan saja. Sehingga puasa sama sekali tidak merubah pemikiran dan tingkah laku secara fundamental. Hal ini mungkin disebabkan karena paradigma surga-neraka saat masih kecil dulu masih mendominasi pemahaman orang-orang dewasa. Menurut Arvan Pradiansyah, tingkatan tertinggi yang dilaksanakan orang yang berpuasa adalah puasa spiritual. Intinya adalah merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Inilah sebenarnya tujuan utama puasa yaitu menjadi orang yang taqwa, dimana definisi taqwa secara tepat bukanlah “takut” tetapi “dekat”.

Fenomena baru lagi dimasyarakat kita, khususnya di perkotaan adalah munculnya tradisi-tradisi baru yang mengikuti ramadhan yang saya sebut dengan ritual-ritual sosial, seperti banyaknya undangan makan bersama sebelum ramadhan tiba, demikian juga undangan berbuka puasa yang kadang disajikan dengan berlebihan. Dapat juga kita amati acara ngabuburit menjelang berbuka, yang bahkan dilakukan ditempat-tempat yang justru tidak mendukung maksud dan tujuan berpuasa. Masih banyak lagi tradisi-tradisi yang pada dasarnya cukup bermanfaat dilihat dari sisi hubungan sosial (silaturahmi) namun akhirnya sering mengaburkan makna substantial dari Ramadhan itu sendiri.

Menurut pandangan saya, Bulan Ramadhan adalah waktu dimana kita berkesempatan membersihkan racun-racun fisik dan emosi yang mengendap dalam tubuh kita dengan berpuasa pada siang hari dan sekaligus membersihkan racun2 hati dan pikiran yang merusak mental-spritual dengan melakukan ratil dan perenungan pada malam hari. Hal ini adalah salah satu bentuk hubungan pribadi (P to P) antara Tuhan dan Manusia dimana khususnya pada bulan Ramadhan, dibukakannya pintu rahmat/petunjuk bagi orang2 yang memang berusaha meluangkan waktu terutama malam hari untuk melakukan rattil (study alquran) dan kontemplasi (perenungan yang dalam). Dan hanya orang-orang yang berhasil dalam berpuasa, melakukan rattil dan perenungan itulah yang akan mendapat petunjuk dengan terbukanya pintu hati dan pikiran akan kebenaran dan menguatkan keyakinan untuk kembali pada fitrah manusia sebagai khalifah dan co-creator alam semesta. Petunjuk inilah yang disimbolkan sebagai Lailatul Qadar, bahwa ada satu malam dimana kita dapat merasakan adanya perubahan secara fundamental dalam diri kita sehingga kita merasa terlahir kembali dengan paradigma baru, paradigma yang fitrah, seperti kupu-kupu cantik yang baru keluar dari kepompong setelah memutuskan bahwa hidupnya harus berubah.

Saya yakin hal ini tidaklah mudah, karena perubahan menuju paradigma yang fitrah tidak dapat dicapai hanya dalam satu bulan. Hal ini membutuhkan proses yang harus terus-menerus diasah dan diperjuangkan setiap saat sehingga dapat diwujudkan dan dibuktikan melalui perbuatan.Lailatul Qadar merupakan klimaks dari usaha dan perjuangan yang telah kita lakukan untuk selalu cenderung pada kebenaran dan kebaikan

Sekali lagi bahwa Lailatul Qadar bukanlah seperti mitos Bintang Jatuh, sebagaimana manusia berlomba-lomba memprediksi tanda-tandanya secara fisik dengan keyakinan bahwa seluruh dosa akan terhapus begitu saja saat menyaksikannya. Lailatul Qadar hanya datang pada orang-orang yang memang memenuhi syarat untuk mencapai derajat tertentu sebagai manusia yang mampu kembali fitrah. Setiap manusia punya kesempatan yang sama untuk mencapainya. Sekarang tergantung kemampuan kita memilih dari pilihan-pilihan hidup yang ada (if-then-else) karena tuhan menganugerahkan kekuatan terbesar pada manusia sebagai ciptaan-Nya yang istimewa, yaitu Kekuatan Memilih (The Power to Choose).

Monday, October 04, 2004

BUILD YOUR HIGH-QUALITY SPECTACLES THROUGH INTENSIVE AND FREQUENT LEARNING!

Bermula dari pertanyaan, kita mendapatkan jawaban. Jawaban dapat diproses kembali menjadi pertanyaan baru bahkan untuk dipertanyakan kembali berulang-ulang jika terdapat keraguan. Jawaban dapat diperoleh melalui orang lain, melalui jurnal/artikel/buku yang kita baca, melalui riset dengan sejumlah data yang tersedia, melalui pengamatan, bahkan melalui samudera hati nurani yang bersifat universal. Jawaban yang kita peroleh dari proses tersebut akan mempengaruhi keputusan atau tindakan yang diambil dan secara tidak langsung kita telah melakukan proses belajar.

Manusia telah melakukan proses belajar sejak berada dalam kandungan. Melalui suatu penelitian diamati bahwa janin dapat bereaksi jika diperdengarkan suara atau musik yang memiliki pulse melebihi detak jantung ibunya. Namun janin tidak lagi bereaksi setelah musik yang sama diperdengarkan ke 24 kalinya. Ternyata sejak berupa janin manusia sudah bisa bereaksi, berasosiasi, mengingat, dan belajar beradaptasi terhadap perubahan. Gangguan yang terjadi pada kemampuan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan belajar dikemudian hari.

Dalam proses belajar manusia melibatkan seluruh indra dan alat gerak motorik yang dikontrol melalui otak. Proses pengumpulan data dari pengamatan dan data empiris yang tersedia dalam memori juga dilakukan oleh otak. Namun proses filtering, analisis, menyimpulkan dan pada akhirnya membuat keputusan sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir karena masing2 manusia mengenakan spectacles (“kacamata”) yang tidak sama atau istilah yang digunakan oleh Arvan untuk meng-analogi-kan paradigma berfikir ini adalah “jendela” (Life is Beautiful: Arvan Pradiansyah).

Mengapa kemampuan belajar dan paradigma berfikir masing2 manusia tidak sama?

Dalam suatu kelas dapat diamati bahwa setiap murid mempunyai kemajuan belajar yang tidak sama walaupun telah disiapkan pada saat pelajaran dimulai mereka memiliki pemahaman awal yang sama terhadap materi pelajaran yang akan dipelajari. Perbedaan kemajuan ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan belajar yang melibatkan keterbukaan akan informasi baru, daya nalar, daya kritis, dan kreatifitas masing2 anak. Dalam kehidupan nyata, hal yang sama juga terjadi. Setiap manusia memiliki perbedaan kemampuan belajar yang pada akhirnya mempengaruhi kesimpulan dan keputusan yang diambil. Seperti halnya program komputer, jika proses belajar pada manusia juga melalui serangkaian pertanyaan-jawaban (IF-THEN-ELSE) yang lebih kompleks akan diperoleh kesimpulan dan keputusan yang lebih berkualitas dan juga akan membentuk ‘the high-quality spectacles’ yaitu, paradigma befikir yang lebih mendekati kebenaran (the real TRUE ) karena secara logika, error factor akan ter-reduksi hingga mendekati nol.

Kebenaran (TRUE) menjadi relatif, karena ‘kacamata’ yang dipakai dalam menilai dan menafsirkan kebenaran adalah berbeda untuk setiap manusia. Sebagai contoh adalah cerita klasik mengenai sepak terjang Robin Hood, si pencuri dermawan dari Hutan Sherwood, Nottingham, dimana batas antara kejahatan dan kebenaran menjadi sangat tipis. Keyakinan TRUE dan FALSE dapat menjadi sesuatu yang ekstrim berbeda dilihat dari dua paradigma yaitu, paradigma para korban pencurian yang menyatakan Robin Hood adalah pencuri (FALSE) dan paradigma rakyat miskin penerima harta curian yang menyatakan Robin Hood adalah pahlawan (TRUE). Lalu bagaimana dengan paradigma Robin Hood sendiri ??

Contoh lain adalah paradigma masyarakat yang dianggap benar bahwa ilmu hanya dapat dicapai melalui pendidikan formal yang tinggi dengan gelar sebagai simbol, sehingga masyarakat menghormati dan menggunakan gelar tersebut sebagai indikator kecerdasan dan luasnya pengetahuan seseorang. Di beberapa instansi gelar telah menjadi tolak ukur atau persyaratan untuk menduduki suatu jabatan tanpa mempedulikan kemampuan, prestasi, kualitas individu tersebut dalam pekerjaan serta sumbangan pemikirannya pada masyarakat. Dampak dari dipermudahnya izin penyelenggaraan pendidikan tingkat sarjana dan pasca sarjana tanpa memperhatikan kualitas, masa kuliah, dan dipermudahnya kelulusan telah mencemarkan institusi pendidikan dari fungsinya sebagai lembaga pencetak kaum intelektual menjadi institusi formal bersifat komersial penghasil Ijazah semata. Lebih ironis lagi, diperoleh informasi bahwa ijasah tersebut dapat juga diperoleh tanpa melalui proses pendidikan formal secara penuh pada universitas2 tertentu asal menyediakan sejumlah uang. Bandingkan paradigma ini dengan keberhasilan tokoh2 dunia yang sangat dihormati seperti Beethoven, George Washington, Bill Gates dll yang kebetulan tidak atau kurang mendapat pendidikan formal namun melalui daya kritis, curiosity, dan kemampuan belajar mandiri dapat memberi sumbangsih pemikiran yang luar biasa bagi perkembangan peradaban manusia

Paradigma berfikir yang mendekati kebenaran universal (hati nurani)

Selain memiliki akal, manusia diciptakan lengkap dengan hati nurani yang bersifat ilahiyah yang artinya selalu cenderung mengikuti sifat-sifat Allah seperti memberi, menyayangi, mengasihi, memelihara dll. Berbekal akal dan hati nurani, manusia dapat melakukan proses belajar mandiri dengan membuka pikiran, melatih daya kritis, kreatifitas dan keingintahuan (curiosity) dalam kerangka iman kepada Allah, sehingga hati nurani akan selalu terlibat dalam proses memilih alternatif jawaban dan mengambil keputusan.

Mulailah dengan pertanyaan, bangun paradigma menjadi the high-quality spectacles, arungi samudera ilmu yang tiada habisnya digali didunia ini dan dapatkan hikmah dari segala peristiwa, kita akan memasuki proses belajar yang sebenarnya. Pendidikan formal hanya menghasilkan seorang sarjana dengan gelar sebagai legitimasinya, namun dengan kemampuan belajar mandiri dan mengambil hikmah dari segala peristiwa akan menghasilkan seorang intelektual yang berorientasi pada kemaslahatan masyarakat.

Bagi anak-anak yang oleh karena sistem yang berjalan di negara kita tidak memungkinkan untuk bersekolah secara formal karena faktor biaya, tetap masih ada jalan dan harapan untuk terus mencari ilmu dengan belajar mandiri dengan tidak lupa untuk selalu berdoa.


(Dedicated to my dear husband in the 13th wedding anniversary, 4 Oct 2004. Hope that through the moments of learning we share we‘ll find the thought and wisdom which enrich the quality of our family and the society. May God bless us always, .. amien!)